Saturday, February 20, 2016

Muara Baru-Jakarta Slums Observation Project

Observasi wilayah pemukiman kumuh di tepi laut Jawa yaitu di daerah Muara Baru, Jakarta. Proyek ini bagian dari mata kuliah Arsitektur Berbasis Komunitas yang aku ikuti di semester ini. Sebelum bercerita mengenai detail proyeknya, mari kepo dulu tentang apa sih arsitektur berbasis komunitas itu ? dan kenapa harus cape-cape pergi ke pemukiman kumuh begitu ?




Muara Baru, Jakarta Utara, DKI Jakarta


Arsitektur berbasis komunitas adalah proses untuk membawa keahlian profesi arsitek ke dalam komunitas, untuk memfasilitasi proses pada komunitas dalam membuat elemen fisik untuk komunitas tersebut sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan mereka.
Menurutku arsitektur berbasis komunitas sangat menarik untuk memberi tahu masyarakat bahwa keahlian arsitek bukan hanya dapat mendesain bangunan yang besar, menarik, mewah, dan hanya untuk orang kaya saja. Tetapi keahlian arsitek juga dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.


Kenapa arsitek harus berperan dalam kehidupan masyarakat ?
Jawaban pertanyaan tiap orang akan sangat subjektif dalam hal ini. Namun banyak masyarakat khususnya kalangan ekonomi bawah di mana mereka butuh sesuatu tapi mereka tidak menyadarinya atau pun tidak dapat mengetahui apa yang benar-benar mereka butuhkan untuk menaikan taraf hidup mereka. Maka dari itu arsitek yang memiliki keahlian mendesain ruang dapat memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat dengan memberikan pendekatan desain untuk mewujudkan apa yang masyarakat butuhkan. Pekerjaan ini lebih ke arah kerja sosial. Jadi butuh keikhlasan dan keinginan besar untuk membantu masyarakat.


Aku sangat tertarik dalam bidang ini karena aku sadar bahwa manusia butuh kerja sosial. Banyak manusia tanpa sadar sebenarnya sudah melakukan kerja sosial dalam hidupnya untuk motif tertentu. Kalau aku merasa butuh kerja sosial untuk mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan yang sudah aku dapat. Apalagi saat ini aku masih mahasiswa dan secara penuh masih dibiayai orang tua. Aku masih belum bisa memberikan sedekah dalam bentuk uang atau masih merasa bahwa uang tersebut bukan hasilku, jadi aku lebih senang bersedekah dengan membagi ilmu. Karena ilmu tidak akan hilang begitu cepat seperti uang dan dapat bermanfaat besar nantinya. Jadi saat aku butuh bersedekah maka dengan cara membantu masyarakat dengan pendekatan desain arsitektur adalah jawaban untukku.


Mari kembali ke proyek !!
Proyek ini sebenarnya adalah bagian dari proyek besar salah satu firma arsitektur & urban planning nirlaba dari USA yaitu Utopia (bisa cek websitenya di sini : http://www.utopiacities.org/)
Mereka fokus ke dalam arsitektur berbasis komunitas dengan memberikan solusi desain untuk pemukiman kumuh di seluruh dunia. Salah satu proyek mereka adalah untuk membantu memberikan solusi desain di daerah pemukiman kumuh di Muara Baru, Jakarta. Bekerja sama pula dengan Berkeley University of California dalam merancang kembali area tersebut. Karena proyek ini adalah kerja sosial maka tentunya dana pun terbatas. Utopia pun mengikut-sertakan para mahasiswa (yang kepo akan pengalaman dan sudah aman hidupnya) untuk berperan dalam desain. Untuk mahasiswa di Berkeley University of California mereka lebih fokus ke desain namun mereka butuh data dan foto daerah Muara Baru untuk dianalisa. Maka dari itu Utopia juga meminta bantuan dari jurusan arsitektur Universitas Pelita Harapan di Indonesia untuk mengobservasi tempat tersebut.


Untungnya di studio perancangan arsitektur 3 yang aku ikuti semester lalu adalah di Muara Baru (bisa cek proyeknya di sini : Muara Baru Public Housing)
Karena sudah tau lokasinya maka di hari kuliah pun diambil untuk mengobservasi kembali daerah Muara Baru, Jakarta. Observasi yang dilakukan hampir sama seperti yang biasa dilakukan saat survey lahan tempat proyek yang akan dibangun. Namun kali ini lebih berfokus pada data kualitas dengan mewawancarai penduduk di daerah tersebut. Observasi ini dilakukan oleh 11 mahasiswa (aku salah satunya) dan 2 dosen yang menjadi mentor kami.




Tempat parkir perahu nelayan di sebelah Pemukiman di atas laut


Sesampainya di sana setelah minta izin pada Ketua RT setempat maka kami pun berkunjung mengelilingi daerah tersebut ditemani Ketua RT nya yaitu Pak Nur.
Pada awalnya aku berkunjung masih membawa perspektif dari diriku bahwa tempat tersebut sangat kotor, bau, dan ga layak jadi tempat berhuni. Rumah semi permanen dibangun dengan material kayu dan bambu di atas laut dengan di bawahnya terlihat sekali bahwa air lautnya penuh limbah dan sampah. Material kayu yang ada di koridor juga dipasang seadanya. Dari cerita warga bahwa sering ada anak kecil terjatuh atau kakinya jadi masuk ke sela-sela kayu yang terpasang dan bahkan ada yang tercebur ke laut. Sedih, miris, prihatin, dan kasihan.




Koridor antar rumah




air laut + sampah




Juga banyak sampah-sampah dari hasil memulung langsung dibuang ke laut di bawah pemukiman. Sehingga air laut menjadi tercemar dan bau. Apalagi kalau sedang musim kemarau daerah tersebut cukup bau ditambah bau dari pasar ikan Muara Baru yang berada disebelahnya.


Setelah berkeliling sebentar dan masih memakai "kacamata" dari dalam diriku, aku pun berkesempatan ikut mengobrol dengan warga setempat. Dari hasil wawancara anehnya mereka bilang mereka sudah merasa nyaman tinggal di tempat tersebut. Aneh kan ?? Entah apa motifnya mungkin mereka ketakutan akan digusur dari tempat tersebut atau mereka saking sudah terbiasanya maka mereka merasa tinggal di tempat tersebut adalah sebuah kenyamanan.


Kami yang ikut berbincang menerima cerita-cerita mereka dan pendapat mereka tentang masalah pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perumahan. Keempat bidang tersebut menjadi topik utama dalam perbincangan kami. Dan karena tidak ingin terlalu formal jadi sebenernya seperti ngobrol-ngobrol biasa namun kami sisipkan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dari 4 bidang tersebut.


Dari hasil wawancara, keempat bidang tersebut saling berkaitan. Mengenai pekerjaan, kebanyakan dari warga bekerja sebagai nelayan dan penjual ikan di pasar ikan. Jika tidak sedang pergi ke laut karena cuaca (apalagi musim hujan di mana angin barat muncul) maka mereka bekerja menjadi pemulung. Bagi yang memiliki nasib baik biasa jadi pedagang toko kelontong, tukang cuci, atau tukang ojek (karena bisa beli motor).
Sedihnya adalah pada masalah pendidikan, banyak dari warga merasa pendidikan kurang begitu penting karena untuk makan saja sulit bagaimana dengan biaya pendidikan ? Mereka pun mengaku bahwa mereka tidak mau memberikan pengharapan lebih kepada anak mereka untuk belajar lebih tinggi karena takutnya mereka tidak dapat membiayai sekolah anak mereka. Namun sebagian ada yang mengaku bahwa saat ini sudah lebih baik karena mereka dapat menyekolahkan ya minimal sampai SMP.
Untuk masalah kesehatan dan sanitasi, jika sakit mereka lebih memilih membeli obat di warung yang murah dibanding harus ke rumah sakit. Kalau sudah parah banget baru ke puskesmas itu juga jauh banget puskesmasnya katanya naik bajaj bisa ampe Rp 25.000,- sekali jalan. Sanitasi di rumahnya juga seadanya dan air menjadi komoditas yang sangat mahal maka dari itu untuk MCK mereka harus membeli air seharga Rp 15.000 se drum/20 liter.
Karena rumah di atas laut kebayang dong WC nya gimana ? Semua hasil buangan langsung menuju ke laut di bawah rumah mereka.
Jangan dibayangin pokoknya jangan dibayangin..heuugghh




pemukiman semi permanen bersebelahan langsung dengan pemukiman permanen


Ketiga bidang di atas semuanya berhubungan dengan bidang keempat yaitu perumahan.
Ya rumah mereka menjadi masalah utama. Mengetahui dari cerita bahwa rata-rata mereka adalah orang-orang pendatang dari wilayah lain di Indonesia, seperti ada yang dari Serang-Banten, Indramayu-Jawa Barat, Cirebon-Jawa Barat, Poso-Sulawesi Tengah, Bima-Nusa Tenggara Barat, dll. Kebanyakan juga adalah yang dari kecil sudah berada di sana karena ikut orang tua.
Alasan pindah dan menetap di sana adalah karena mencari pekerjaan. Mereka pun rata-rata menghuni rumah yang dimiliki orang tua mereka terdahulu atau membeli dengan harga amat sangat murah dari pemilik terdahulu. Meskipun mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda tapi mereka dapat hidup sangat rukun. Pak Nur selaku ketua RT pun bercerita bahwa jarang ada masalah antar warganya dan yang lebih penting bagi mereka adalah kehidupan bermukimnya. Seperti warga lebih tanggap bencana, jadi kalau ada air laut pasang datang hingga banjir masuk rumah maka warga sudah mengerti harus melakukan apa, dan jika terjadi kebakaran pun warga tidak langsung panik menyelamati diri sendiri tapi aktif langsung membantu memadamkan api.
Pak Nur juga cerita bahwa jika ada masalah biasanya langsung diselesaikan di tempat dan jika ada masalah kecil harus segera dihilangkan dan masalah besar diselesaikan menjadi lebih kecil sampai akhirnya pun harus hilang. Mungkin karena mereka merasa bernasib sama maka dari itu di antara mereka sudah banyak kemakluman dan rasa gotong royong pun terbentuk dalam hidup bertetangga. Namun sayangnya pemukiman mereka sangat tidak layak karena bidang lain dalam kehidupan mereka (pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan) terganggu.


Pembelajaran untukku dari wawancara yang dilakukan adalah mengetahui sudut pandang yang baru. Di mana pada awal aku datang untuk observasi yang ada di pikiranku adalah penilaian tentang tempat tersebut padahal ada cerita lebih dalam dari perspektif lain yang belum aku ketahui. Dari tahu akan cerita yang ada maka menambah titik terang akan apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang ada di pemukiman tersebut.


Untuk memberikan solusi desain arsitektur kepada komunitas seperti di pemukiman di Muara Baru tersebut, tidak dapat dengan ujug-ujug memberikan hasil desain yang sudah jadi dan membangunnya untuk langsung dipakai. Tapi solusi desain diwujudkan dengan partisipasi masyarakat, fungsinya adalah untuk membangun rasa kepemilikan dan menginsepsi masyarakat untuk mengubah cara hidupnya menjadi lebih baik. Karena mendesain bangunan dan membangun bisa dilakukan siapa pun, tapi merawat agar tahan lama membutuhkan usaha luar biasa.




klien arsitek komunitas adalah masyarakat


Maka dari itu proyek arsitektur untuk komunitas biasanya membutuhkan waktu lama. Bukan masalah dana tetapi masalah proses desain dan pembangunannya membutuhkan partisipasi masyarakat yang terdiri dari banyak kepala itu sangat membutuhkan waktu. Ada yang bisa sampai 3 tahun baru dapat terbangun dan berfungsi dengan baik, atau untuk yang sampai dapat meningkatkan taraf kehidupan bisa sampai 10 tahun menurutku.


Semoga hasil observasi dari tim kami dapat bermanfaat untuk proses desain tim Utopia & mahasiswa Berkeley University of California sehingga hasil desain bukan hanya sekedar menjadi bangunan saja tapi bisa menyelesaikan masalah masyarakat pemukiman kumuh Muara Baru - Jakarta sampai ke akarnya.


Semoga menginspirasi~





No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...